Kamis, 10 November 2016

Legenda Dieng: KOLODETE

LOMBA MENULIS CERITA RAKYAT WONOSOBO
KOLODETE

Ratusan tahun yang lalu, pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit banyak orang yang ketakutan dan melarikan diri menyeberang ke pulau kecil Bali, sementara itu sebagian lagi yang lainnya berlari dan bersembunyi di dalam hutan belantara.
Tersebutlah seorang pemuda gagah perkasa, berambut panjang hitam tebal. Kolodete namanya. Ia bersama dua sahabatnya Karim dan Walik berlari menembus hutan belantara hingga sampai di daerah pegunungan yang indah dan sejuk udaranya.
“ Kita istirahat dulu di sini! Aku capai ...” , kata Walik sambil duduk di sebuah  selo (batu besar ).
“ Aku juga capai dan haus. Ayo kita minum air sungai di bawah pohon  beringin itu. Kelihatan bening dan segar..”, Karim mendekati gemericik air sungai itu. Dan segera meminum airnya. Mereka bertiga sejenak beristirahat di sekitar sungai itu. Semilir angin di bawah beringin itu membuat mereka bisa tertidur.
“ Aku ingin tinggal di daerah ini, Aku akan membuat gubuk (rumah)  di tempat ini!”, kata Walik setelah mereka terbangun.
“ Apa kau tak takut para prajurit yang mengejar kita menangkapmu?”, tanya Kolodete pada Walik sahabatnya.
“ Aku sudah mantap dengan keputusanku. Aku akan tinggal di tempat ini. Di atas selo ( batu ini ) akan kubuat gubuk tempat tinggalku. “, kata Walik memastikan.
“ Saya rasa tempat ini sudah jauh dan aman dari kejaran para prajurit itu. Jika Walik memutuskan untuk tinggal di sini... saya rasa tidak apa – apa dan aman!”, ucap Karim pada ke dua sahabatnya.
Seperti mendapat hembusan angin segar pegunungan,Walik merasa senang mendengar ucapan sahabatnya.
“ lalu bagaimana dengan kalian? “, tanya Walik kepada kedua sahabatnya.
“ Aku ingin tinggal di atas pegunungan  yang ada kepulan asap putihnya itu”, sahut Kolodete mantap.
“ Di sana?! “, tanya Karim ragu.
“ Ya...! Aku akan babad alas (membuka hutan) membangun gubukku di sana!”, tegas Kolodete.
“ Baiklah...! Kalau begitu  Aku akan tinggal di hutan sebelah tengah –tengah  itu! “, kata Karim.
 “ Aku akan berada di tengah – tengah kalian berada! Walik di hutan yang sejuk ini dan kamu Kolodete di hutan di atas pegunungan sana ! Supaya tali persaudaraan kita tetap utuh dan kita bisa saling mengunjungi karena jarak tempat tinggal kita tak jauh dan berdekatan “  lanjutnya.
“ Ya aku setuju! “, sahut Walik dan Kolodete.
Mereka pun saling berpelukan dan berjabat tangan kemudian Karim dan Kolodete pergi menuju tempat tujuannya masing – masing .
Dalam perjalanannya menuju puncak  pegunungan yang ada kepulan asap putihnya, Kolodete harus melewati berbagai aral rintangan yang menghadangnya.
Di tengah hutan belantara yang lebat dengan pepohonan besar itu, Kolodete harus berjuang keras. Membabati rumput ilalang liar. Memotong dan menumbangkan pohon – pohon besar yang menghadang untuk membuka jalan.
Jika dibandingkan dengan kedua sahabatnya, - Walik dan Karim. Kolodete yang berambut hitam lebat dan wajahnya dipenuhi brewok tebal itu adalah yang paling gagah dan kuat serta paling digdaya. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya coklat kehitaman. Oleh karena kemampuannya itu  -  ia dengan mudah membabat hutan membuka jalan menuju puncak pegunungan itu. Tetesan keringat dan lelah letih tak ia rasakan. Meskipun ia jatuh bangun dan terperosok ke jurang yang dalam, Kolodete tak putus asa mencapai tujuannya. Satu keinginannya untuk segera sampai di puncak pegunungan yang mengeluarkan asap putih itu.
Sudah beberapa hari, ia lewati dengan babad alas membuka jalan menuju puncak pegunungan itu. Bila ia lelah - Kolodete segera mandi di tuk (mata air) yang jernih ada disekitar hutan belantara itu.  Bila lapar,  ia berburu ayam alas untuk disantapnya. Bila malam datang -  ia memanjat pohon besar; tidur beristirahat di sana.
Suatu ketika dalam perjalanannya mendaki puncak pegunungan itu, ia melihat beberapa anak kijang sedang minum air Telaga. Anak – anak kijang itu tak tahu kalau mereka sedang diincar bahaya; seekor ular raksasa merayap cepat hendak memangsa salah satu dari mereka.
Ular raksasa itu dengan sigap berhasil menangkap satu anak Kijang dalam belitannya. Ular itu hendak memangsanya. Anak – anak Kijang lainnya lari berhamburan – menyelamatkan diri.
Dengan cepat  Kolodete berusaha menyelamatkan anak Kijang malang itu. Tangannya yang kuat menarik ekor ular raksasa itu.
“ Jangan kau makan anak Kijang ini! “, teriak Kolodete sambil mendaratkan satu pukulan keras ke kepala ular raksasa itu.
Ular raksasa itu kesakitan dan melepaskan belitannya pada anak Kijang. Anak Kijang segera berlari menyusul teman – temannya. Anak Kijang itu sesaat menoleh dan memandang Kolodete. Tatapan matanya seperti hendak mengucapkan terimakasih padanya.
Ular raksasa yang marah itu, balik menyerang Kolodete. Berkali – kali , ular itu berusaha mematuknya. Tubuh nya dibelitkan ke kaki dan paha Kolodete, tetapi Kolodete lebih perkasa, dicengkeramnya kepala ular itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya berusaha melepaskan belitan ular raksasa itu.
Dengan susah payah akhirnya Kolodete berhasil mengalahkan ular  raksasa itu. Ular itu lemas tak berdaya dalam cengkeraman tangannya yang  kuat. Ular itu menyerah kalah, tetapi Kolodete tidak membunuh ular raksasa itu.
“ Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu mengganggu anak – anak Kijang itu...”, kata Kolodete lalu dibiarkannya ular raksasa itu kembali ke sarangnya. 
            Pada saat lainnya ,  Kolodete harus berjuang keras melawan empat Macan gunung yang merasa terganggu dengan kedatangannya. Ke empat Macan gunung itu mengaum – ngaum keras berusaha menyerang Kolodete secara bersamaan.
Gigitan taring Macan  gunung itu berhasil melukai tangannya, namun dengan kegigihan dan keperkasaannya Kolodete berhasil mengalahkan satu persatu Macan gunung yang menyerangnya.
“ Maafkan–  jika aku mengganggu wilayah kalian! Aku hanya numpang melewati wilayah kalian untuk menuju puncak pegunungan berasap putih itu”, katanya memohon ijin kepada Macan gunung itu.
Ke empat macan gunung yang tak berdaya itu, akhirnya mengijinkan Kolodete lewat.
Perjalanan Kolodete semakin berat. Hutan belantara semakin lebat. Ia mulai mendaki bukit demi bukit pegunungan itu. Sudah cukup lelah ia melangkah.Lalu dipandangi ke arah bawah, sungguh suatu  pemandangan yang indah,  alam pegunungan yang megah. Hijau membentang luas.
Tiba – tiba Kolodete menghentikan langkah. Di antara suara angin sepoi – sepoi , di antara suara gemericik air sungai, di antara suara – suara burung dan mahluk hutan lainnya. Sayup – sayup ia mendengar suara tangisan. Lalu, ia mencari – cari dari manakah sumber suara itu?
Kolodete segera berlari ke arah suara tangisan itu. Ia berlari cepat menuju ke arah pohon besar. Langkahnya kembali terhenti . Tepian jurang yang dalam ada di hadapannya.
Kolodete mengamati jurang itu yang ternyata menyerupai sebuah sumur besar dan dalam. Jauh di bawah sumur besar itu, ia melihat samar – samar bayangan seseorang. Dengan kesaktiannya, Kolodete segera turun ke dalam sumur itu. Ternyata benar, dipinggir sumur besar itu Kolodete melihat  wanita muda yang menangis sendirian di dalam sumur itu.
“ Siapa kamu?!...”, suara wanita muda itu di antara isak tangisnya.
“ Aku Kolodete! Ketika aku melewati hutan ini ... aku mendengar tangisanmu “, jawab Kolodete.
“ Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu berada dalam sumur ini sendirian? “, tanyanya penasaran.



“ Namaku Nini Dewi Laras ... Aku seorang dayang di istana Ratu Laut Selatan “, wanita itu mulai menceritakan pengalamannya. “ pekerjaanku adalah meronce ( merangkai ) bunga – untuk menghias istana. Tetapi suatu ketika aku melakukan kesalahan beberapa kali. Hasil roncean bungaku kurang bagus dan tidak pantas untuk menghias istana. – Kanjeng Ratu marah; lalu ia menyuruh para pengawalnya membuangku di sumur ini..”, lanjutnya.
“ Baiklah kalau begitu aku akan menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sini! “, sahut Kolodete dan bersiap – siap menggendong wanita muda itu keluar dari sumur besar itu.
“ Terimakasih ...”, ucap Nini Dewi Laras sambil tersenyum gembira.
Kolodete membalas senyum Nini kemudian menggendongnya naik ke permukaan sumur besar itu. Baru beberapa langkah - tiba – tiba terdengar suara menggelegar seperti halilintar dari bawah sumur.
“ Berhenti ..!Kalian tidak bisa keluar hidup -hidup dari dasar sumur ini?! ”
“ Apa maksudmu?! Tunjukkan dirimu?! “, Kolodete menurunkan Nini dari gendongan kemudian berbalik menghadapi suara menggelegar itu.
“ Akulah mahluk penunggu sumur ini! Akulah pengawal Ratu yang diberi tugas menjaga dayang itu untuk tetap tinggal di sumur ini! “, suara itu terputus.
“ Dan ... tidak semudah itu kau pergi membawa Nini Dewi Laras dari sini! Kau harus melawan dan mengalahkanku dahulu! “, suara itu semakin dekat menggelegar dan bergema memekakkan telinga Nini.
“ Baiklah aku akan mengalahkanmu ... Ayo keluarlah dari persembunyianmu! Kita akan bertarung ...”, Kolodete memberanikan diri menghadapi suara yang tak tampak wujudnya itu.
“ Ha ..ha..hahaaa...! Kamu lancang terimalah pukulanku ini...!! ”, bersamaan suara itu tiba – tiba dari lubang di dekat sumur itu meluncur gumpalan asap putih berbentuk kepalan tangan raksasa menghantam Kolodete.
BLAARR...! tubuh Kolodete yang belum siap itu terpental menghantam bebatuan tebing sumur.
“ Ha ...ha.. ha ha! Akulah Lirang  Mahluk raksasa penunggu sumur ini! Baru satu pukulan saja kau sudah rubuh! Bagaimana bisa kau mengalahkan aku?! Ha..ha..ha! ”, suara itu menampakkan wujud aslinya. Mahluk raksasa penunggu sumur itu berbetuk kepulan asap putih keabu – abuan dengan bau tak sedap menyengat hidung.
Nini Dewi Laras menutupi hidungnya tak tahan dengan bau raksasa itu.
Kolodete segera berdiri kembali. Sambil menahan bau tak sedap dari Lirang, Ia mengerahkan seluruh kesaktian yang dimilikinya. Dengan cepat ia meloncat. Menyarangkan sebuah tendangan ke arah Lirang raksasa sumur itu.
BUUK! Mahluk raksasa penunggu sumur itu terjungkal. Terperosok kembali ke dalam sumur itu. Kolodete segera mengejarnya.Dan dengan cepat diangkatnya batu besar untuk menutup lubang di dekat sumur besar itu.
“ Ampun... ampun jangan kurung aku lagi di lubang ini!”, suara Lirang mohon belas kasihan. “ Aku bersedia membantumu asal tidak kau kurung aku lagi di sini...ampun! ”, lanjutnya.
“ Baiklah ... kamu aku ampuni. Akan kuangkat batu besar ini, asal kau penuhi janjimu! “, tegas Kolodete.
“ Aku berjanji... ampuni aku! ”, suara Lirang putus asa.
Setelah itu mereka Kolodete, Nini Dewi Laras dan Lirang Mahluk raksasa penunggu sumur itu bergegas meninggalkan sumur raksasa itu.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mendaki menembus hutan belantara pegunungan itu. Kolodete merasa senang mendapatkan beberapa teman baru yang menemaninya. Hingga suatu hari sampailah mereka di tempat datar di atas puncak pegunungan itu. Kolodete menghentikan langkahnya. Dari ketinggian Ia memandangi alam sekitarnya. Megah dan indah! Mempesona mata! Tak jauh dari tempat berdirinya , Kolodete melihat kepulan asap putih itu dari dekat. Kepulan asap putih itu tujuannya. Sudah cukup lama ia melakukan perjalanan hingga hari ini ia baru bisa mencapai tujuannya. Kolodete tersenyum sendiri mengingat kembali perjalanannya dari Majapahit bersama kedua sahabatnya Walik dan Karim.
“ Bagaimana dengan Walik? Apakah ia sudah selesai membangun gubuknya? Terus bagaimana dengan Karim? Apakah ia juga sudah menemukan tempat tujuannya? “, pikiran Kolodete menerawang jauh mengenang sahabatnya.
Angin semilir membawa hawa dingin menyelimuti tempat di mana Kolodete berdiri. Nini Dewi Laras dan Lirang hanya saling berpandangan menunggu Kolodete yang tenggelam dalam lamunannya.
“ Inilah nirwana tempat tujuanku selama ini. Di tempat ini akan aku bangun sebuah gubuk baru sebagai tempat tinggalku. Aku akan memulai kehidupan baruku yang lebih tenang dan damai di tempat sejuk ini “, ucap Kolodete memecahkan keheningan mereka.
“ Nini dan kau Lirang ! bersediakah kalian membantuku membangun gubukku? “, tanyanya kepada mereka.
“ Kami siap dan mau membantumu Kolodete! “, jawab mereka serempak.

Esok paginya, mereka berbagi tugas untuk membangun gubuk.
Lirang menebang kayu – kayu besar di hutan, kemudian membawa balok – balok kayu itu ke tempat itu. Selain itu ia juga bertugas berburu ayam alas untuk keperluan hidup mereka.
Kolodete merancang dan memotong balok – balok kayu itu menjadi saka (tiang ) rumah dan blabak (papan) untuk membangun gubuknya.
Sementara itu Nini Dewi Laras mempunyai tugas mencangkul dan menyiangi tanah untuk bercocok tanam di sekitar tempat itu. Nini juga bertugas memasak untuk kebutuhan makan mereka sehari – hari.
Berhari – hari mereka bekerja keras. Tak ada rasa lelah yang mereka rasakan. Mereka bergotong – royong saling membantu untuk mewujudkan keinginan Kolodete membangun gubug di tempat dataran tinggi pegunungan itu.
Akhirnya dalam waktu yang singkat gubuk baru Kolodete terwujud. Mereka memandang dengan puas hasil kerja mereka. Gubuk balok kayu yang kokoh dan indah di atas dataran tinggi pegunungan itu. Dihiasi taman bunga asri, dihiasi bunga warna – warni . Udara dingin dan sejuk menyegarkan dedaunan hijau ditaman bunga hasil ketrampilan tangan Nini Dewi Laras.
Kolodete merasa puas, karena mimpinya telah terwujud.
“ Terimakasih atas bantuan kalian gubuk ini terwujud dan selesai dengan cepat.”, kata Kolodete kepada Nini Dewi Laras dan Lirang  sambil karing ( berjemur) di atas batu di depan gubuk mereka suguhan pemandangan yang sangat menawan.
“ Kalau boleh bertanya kau akan memberi nama tempat ini apa? “,tanya Nini Dewi Laras.
“ Ya... akan kau beri nama apa?! “, sahut Lirang ingin tahu.
“ Karena tempat pegunungan ini udaranya sejuk dingin. Pemandangannya begitu indah dan mempesona yang pantas sebagai nirwana bersemayamnya para dewa...”,  Kolodete berhenti sesaat menarik nafas.
“ dan karena kau Nini Dewi Laras...dirimu seorang Dayang Ratu Laut Selatan maka tempat  di sekitar gubug ini aku beri nama Di-eng....! “, lanjut Kolodete.
“ Dieng ?! “, suara mereka serempak.
“ Ya! Tempat dataran tinggi pegunungan ini kuberi nama DIENG ! “, suara lantang Kolodete menggema kemana – mana.
Sejak saat itu, Walik dan Karim sahabatnya sering berkunjung ke dataran tinggi pegunungan Dieng. Sebaliknya Kolodete dan Nini Dewi Laras sering juga turun gunung mengunjungi sahabat mereka.
Beberapa waktu kemudian karena mendapatkan restu dan wahyu dari Ratu Laut Selatan; Kolodete menikahi Nini Dewi Laras. Ketika upacara pernikahan berlangsung ia mengucapkan sumpah, “ Aku tidak akan mandi dan tidak akan memotong rambutku sampai wilayah dataran tinggi menjadi gemah ripah loh jinawi ( makmur dan sejahtera ) ...! “



Sejak menjadi istri Kolodete nama Nini Dewi Laras berganti nama sebagai Ni Roro Ronce; nama yang sesuai dengan kepandaiannya dalam merangkai bunga.

SELESAI



AL. SIHDI WIDYANANTO WIDODO


LOMBA MENULIS CERITA RAKYAT WONOSOBO
Dewan Pendidikan Kabupaten Wonosobo
Jl. Sukarno Hatta no. 2- 4 Wonosobo