LOMBA MENULIS CERITA RAKYAT WONOSOBO
KOLODETE
Ratusan tahun yang lalu, pada saat runtuhnya kerajaan
Majapahit banyak orang yang ketakutan dan melarikan diri menyeberang
ke pulau kecil Bali, sementara itu sebagian lagi yang lainnya berlari dan
bersembunyi di dalam hutan belantara.
Tersebutlah seorang pemuda gagah perkasa, berambut panjang
hitam tebal. Kolodete namanya. Ia bersama dua sahabatnya Karim dan Walik berlari
menembus hutan belantara hingga sampai di daerah pegunungan yang indah dan
sejuk udaranya.
“ Kita istirahat dulu di sini! Aku capai ...” , kata
Walik sambil duduk di sebuah selo (batu
besar ).
“ Aku juga capai dan haus. Ayo kita minum air sungai
di bawah pohon beringin itu. Kelihatan
bening dan segar..”, Karim mendekati gemericik air sungai itu. Dan segera
meminum airnya. Mereka bertiga sejenak beristirahat di sekitar sungai itu.
Semilir angin di bawah beringin itu membuat mereka bisa tertidur.
“ Aku ingin tinggal di daerah ini, Aku akan membuat
gubuk (rumah) di tempat ini!”, kata
Walik setelah mereka terbangun.
“ Apa kau tak takut para prajurit yang mengejar kita
menangkapmu?”, tanya Kolodete pada Walik sahabatnya.
“ Aku sudah mantap dengan keputusanku. Aku akan
tinggal di tempat ini. Di atas selo ( batu ini ) akan kubuat gubuk tempat
tinggalku. “, kata Walik memastikan.
“ Saya rasa tempat ini sudah jauh dan aman dari
kejaran para prajurit itu. Jika Walik memutuskan untuk tinggal di sini... saya
rasa tidak apa – apa dan aman!”, ucap Karim pada ke dua sahabatnya.
Seperti mendapat hembusan angin segar
pegunungan,Walik merasa senang mendengar ucapan sahabatnya.
“ lalu bagaimana dengan kalian? “, tanya Walik
kepada kedua sahabatnya.
“ Aku ingin tinggal di atas pegunungan yang ada kepulan asap putihnya itu”, sahut
Kolodete mantap.
“ Di sana?! “, tanya Karim ragu.
“ Ya...! Aku akan babad alas (membuka hutan)
membangun gubukku di sana!”, tegas Kolodete.
“ Baiklah...! Kalau begitu Aku akan tinggal di hutan sebelah tengah –tengah
itu! “, kata Karim.
“ Aku akan
berada di tengah – tengah kalian berada! Walik di hutan yang sejuk ini dan kamu
Kolodete di hutan di atas pegunungan sana ! Supaya tali persaudaraan kita tetap
utuh dan kita bisa saling mengunjungi karena jarak tempat tinggal kita tak jauh
dan berdekatan “ lanjutnya.
“ Ya aku setuju! “, sahut Walik dan Kolodete.
Mereka pun saling berpelukan dan berjabat tangan
kemudian Karim dan Kolodete pergi menuju tempat tujuannya masing – masing .
Dalam perjalanannya menuju puncak pegunungan yang ada kepulan
asap putihnya, Kolodete harus melewati berbagai aral rintangan yang
menghadangnya.
Di tengah hutan belantara yang lebat dengan
pepohonan besar itu, Kolodete harus berjuang keras. Membabati rumput ilalang
liar. Memotong dan menumbangkan pohon – pohon besar yang menghadang untuk
membuka jalan.
Jika dibandingkan dengan kedua sahabatnya, - Walik
dan Karim. Kolodete yang berambut hitam lebat dan wajahnya dipenuhi brewok tebal
itu adalah yang paling gagah dan kuat serta paling digdaya. Tubuhnya tinggi besar,
kulitnya coklat kehitaman. Oleh karena kemampuannya itu - ia
dengan mudah membabat hutan membuka jalan menuju puncak pegunungan itu. Tetesan
keringat dan lelah letih tak ia rasakan. Meskipun ia jatuh bangun dan
terperosok ke jurang yang dalam, Kolodete tak putus asa mencapai tujuannya. Satu
keinginannya untuk segera sampai di puncak pegunungan yang mengeluarkan asap
putih itu.
Sudah beberapa hari, ia
lewati dengan babad alas membuka jalan menuju puncak pegunungan itu. Bila ia
lelah - Kolodete segera mandi di tuk (mata air) yang jernih ada disekitar hutan
belantara itu. Bila lapar, ia berburu ayam alas untuk disantapnya. Bila
malam datang - ia memanjat pohon besar;
tidur beristirahat di sana.
Suatu ketika dalam
perjalanannya mendaki puncak pegunungan itu, ia melihat beberapa anak kijang
sedang minum air Telaga. Anak – anak kijang itu tak tahu kalau mereka sedang
diincar bahaya; seekor ular raksasa merayap cepat hendak memangsa salah satu
dari mereka.
Ular raksasa itu dengan
sigap berhasil menangkap satu anak Kijang dalam belitannya. Ular itu hendak
memangsanya. Anak – anak Kijang lainnya lari berhamburan – menyelamatkan diri.
Dengan cepat Kolodete berusaha menyelamatkan anak Kijang
malang itu. Tangannya yang kuat menarik ekor ular raksasa itu.
“ Jangan kau makan anak
Kijang ini! “, teriak Kolodete sambil mendaratkan satu pukulan keras ke kepala
ular raksasa itu.
Ular raksasa itu
kesakitan dan melepaskan belitannya pada anak Kijang. Anak Kijang segera
berlari menyusul teman – temannya. Anak Kijang itu sesaat menoleh dan memandang
Kolodete. Tatapan matanya seperti hendak mengucapkan terimakasih padanya.
Ular raksasa yang marah itu, balik menyerang
Kolodete. Berkali – kali , ular itu berusaha mematuknya. Tubuh nya dibelitkan
ke kaki dan paha Kolodete, tetapi Kolodete lebih perkasa, dicengkeramnya kepala
ular itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya berusaha melepaskan
belitan ular raksasa itu.
Dengan susah payah akhirnya Kolodete berhasil
mengalahkan ular raksasa itu. Ular itu
lemas tak berdaya dalam cengkeraman tangannya yang kuat. Ular itu menyerah kalah, tetapi
Kolodete tidak membunuh ular raksasa itu.
“ Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu mengganggu anak
– anak Kijang itu...”, kata Kolodete lalu dibiarkannya ular raksasa itu kembali
ke sarangnya.
Pada
saat lainnya , Kolodete harus berjuang
keras melawan empat Macan gunung yang merasa terganggu dengan kedatangannya. Ke
empat Macan gunung itu mengaum – ngaum keras berusaha menyerang Kolodete
secara
bersamaan.
Gigitan taring
Macan gunung itu berhasil melukai
tangannya, namun dengan kegigihan dan keperkasaannya Kolodete berhasil
mengalahkan satu persatu Macan gunung yang menyerangnya.
“ Maafkan– jika aku mengganggu wilayah kalian! Aku hanya numpang
melewati wilayah kalian untuk menuju puncak pegunungan berasap putih itu”,
katanya memohon ijin kepada Macan gunung itu.
Ke empat macan gunung yang tak berdaya itu, akhirnya
mengijinkan Kolodete lewat.
Perjalanan Kolodete semakin berat. Hutan belantara
semakin lebat. Ia mulai mendaki bukit demi bukit pegunungan itu. Sudah cukup
lelah ia melangkah.Lalu dipandangi ke arah bawah, sungguh suatu pemandangan yang indah, alam pegunungan yang megah. Hijau membentang luas.
Tiba – tiba Kolodete menghentikan langkah. Di antara
suara angin sepoi – sepoi , di antara suara gemericik air sungai, di antara
suara – suara burung dan mahluk hutan lainnya. Sayup – sayup ia mendengar suara
tangisan. Lalu, ia mencari – cari dari manakah sumber suara itu?
Kolodete segera berlari ke arah suara tangisan itu.
Ia berlari cepat menuju ke arah pohon besar. Langkahnya kembali terhenti .
Tepian jurang yang dalam ada di hadapannya.
Kolodete mengamati
jurang itu yang ternyata menyerupai sebuah sumur besar dan dalam. Jauh di bawah
sumur besar itu, ia melihat samar – samar bayangan seseorang. Dengan
kesaktiannya, Kolodete segera turun ke dalam sumur itu. Ternyata benar,
dipinggir sumur besar itu Kolodete melihat wanita muda yang menangis sendirian di dalam
sumur itu.
“ Siapa kamu?!...”,
suara wanita muda itu di antara isak tangisnya.
“ Aku Kolodete! Ketika
aku melewati hutan ini ... aku mendengar tangisanmu “, jawab Kolodete.
“ Siapa kamu
sebenarnya? Mengapa kamu berada dalam sumur ini sendirian? “, tanyanya
penasaran.
“ Namaku Nini Dewi
Laras ... Aku seorang dayang di istana Ratu Laut Selatan “, wanita itu mulai
menceritakan pengalamannya. “ pekerjaanku adalah meronce ( merangkai ) bunga –
untuk menghias istana. Tetapi suatu ketika aku melakukan
kesalahan beberapa kali. Hasil roncean bungaku kurang bagus dan tidak pantas
untuk menghias istana. – Kanjeng Ratu marah; lalu ia menyuruh para pengawalnya
membuangku di sumur ini..”, lanjutnya.
“ Baiklah kalau begitu
aku akan menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sini! “, sahut Kolodete dan
bersiap – siap menggendong wanita muda itu keluar dari sumur besar itu.
“ Terimakasih ...”,
ucap Nini Dewi Laras sambil tersenyum gembira.
Kolodete membalas
senyum Nini kemudian menggendongnya naik ke permukaan sumur besar itu. Baru
beberapa langkah - tiba – tiba terdengar suara menggelegar seperti halilintar
dari bawah sumur.
“ Berhenti ..!Kalian
tidak bisa keluar hidup -hidup dari dasar sumur ini?! ”
“ Apa maksudmu?!
Tunjukkan dirimu?! “, Kolodete menurunkan Nini dari gendongan kemudian berbalik
menghadapi suara menggelegar itu.
“ Akulah mahluk
penunggu sumur ini! Akulah pengawal Ratu yang diberi tugas menjaga dayang itu
untuk tetap tinggal di sumur ini! “, suara itu terputus.
“ Dan ... tidak semudah
itu kau pergi membawa Nini Dewi Laras dari sini! Kau harus melawan dan
mengalahkanku dahulu! “, suara itu semakin dekat menggelegar dan bergema
memekakkan telinga Nini.
“ Baiklah aku akan
mengalahkanmu ... Ayo keluarlah dari persembunyianmu! Kita akan bertarung ...”,
Kolodete memberanikan diri menghadapi suara yang tak tampak wujudnya itu.
“ Ha ..ha..hahaaa...!
Kamu lancang terimalah pukulanku ini...!! ”, bersamaan suara itu tiba – tiba
dari lubang di dekat sumur itu meluncur gumpalan asap putih berbentuk kepalan
tangan raksasa menghantam Kolodete.
BLAARR...! tubuh
Kolodete yang belum siap itu terpental menghantam bebatuan tebing sumur.
“ Ha ...ha.. ha ha!
Akulah Lirang Mahluk raksasa penunggu
sumur ini! Baru satu pukulan saja kau sudah rubuh! Bagaimana bisa kau
mengalahkan aku?! Ha..ha..ha! ”, suara itu menampakkan wujud aslinya. Mahluk
raksasa penunggu sumur itu berbetuk kepulan asap putih keabu – abuan dengan bau
tak sedap menyengat hidung.
Nini Dewi Laras
menutupi hidungnya tak tahan dengan bau raksasa itu.
Kolodete segera berdiri
kembali. Sambil menahan bau tak sedap dari Lirang, Ia mengerahkan seluruh
kesaktian yang dimilikinya. Dengan cepat ia meloncat. Menyarangkan sebuah
tendangan ke arah Lirang raksasa sumur itu.
BUUK! Mahluk raksasa
penunggu sumur itu terjungkal. Terperosok kembali ke dalam sumur itu. Kolodete
segera mengejarnya.Dan dengan cepat diangkatnya batu besar untuk menutup lubang
di dekat sumur besar itu.
“ Ampun... ampun jangan
kurung aku lagi di lubang ini!”, suara Lirang mohon belas kasihan. “ Aku
bersedia membantumu asal tidak kau kurung aku lagi di sini...ampun! ”,
lanjutnya.
“ Baiklah ... kamu aku
ampuni. Akan kuangkat batu besar ini, asal kau penuhi janjimu! “, tegas
Kolodete.
“ Aku berjanji...
ampuni aku! ”, suara Lirang putus asa.
Setelah itu mereka
Kolodete, Nini Dewi Laras dan Lirang Mahluk raksasa penunggu
sumur itu bergegas meninggalkan sumur raksasa itu.
Mereka bertiga
melanjutkan perjalanan mendaki menembus hutan belantara pegunungan itu.
Kolodete merasa senang mendapatkan beberapa teman baru yang menemaninya. Hingga
suatu hari sampailah mereka di tempat datar di atas puncak pegunungan itu.
Kolodete menghentikan langkahnya. Dari ketinggian Ia memandangi alam
sekitarnya. Megah dan indah! Mempesona mata! Tak jauh dari tempat berdirinya ,
Kolodete melihat kepulan asap putih itu dari dekat. Kepulan asap putih itu
tujuannya. Sudah cukup lama ia melakukan perjalanan hingga hari ini ia baru
bisa mencapai tujuannya. Kolodete tersenyum sendiri mengingat kembali
perjalanannya dari Majapahit bersama kedua sahabatnya Walik dan Karim.
“ Bagaimana dengan
Walik? Apakah ia sudah selesai membangun gubuknya? Terus bagaimana dengan
Karim? Apakah ia juga sudah menemukan tempat tujuannya? “, pikiran Kolodete
menerawang jauh mengenang sahabatnya.
Angin semilir membawa
hawa dingin menyelimuti tempat di mana Kolodete berdiri. Nini Dewi Laras dan
Lirang hanya saling berpandangan menunggu Kolodete yang tenggelam dalam lamunannya.
“ Inilah nirwana tempat
tujuanku selama ini. Di tempat ini akan aku bangun sebuah gubuk baru sebagai
tempat tinggalku. Aku akan memulai kehidupan baruku yang lebih tenang dan damai
di tempat sejuk ini “, ucap Kolodete memecahkan keheningan mereka.
“ Nini dan kau Lirang !
bersediakah kalian membantuku membangun gubukku? “, tanyanya kepada mereka.
“ Kami siap dan mau
membantumu Kolodete! “, jawab mereka serempak.
Esok paginya, mereka
berbagi tugas untuk membangun gubuk.
Lirang menebang kayu –
kayu besar di hutan, kemudian membawa balok – balok kayu itu ke tempat itu.
Selain itu ia juga bertugas berburu ayam alas untuk keperluan hidup mereka.
Kolodete merancang dan
memotong balok – balok kayu itu menjadi saka (tiang ) rumah dan blabak (papan)
untuk membangun gubuknya.
Sementara itu Nini Dewi
Laras mempunyai tugas mencangkul dan menyiangi tanah untuk bercocok tanam di
sekitar tempat itu. Nini juga bertugas memasak untuk kebutuhan makan mereka
sehari – hari.
Berhari – hari mereka
bekerja keras. Tak ada rasa lelah yang mereka rasakan. Mereka bergotong –
royong saling membantu untuk mewujudkan keinginan Kolodete membangun gubug di
tempat dataran tinggi pegunungan itu.
Akhirnya dalam waktu
yang singkat gubuk baru Kolodete terwujud. Mereka memandang dengan puas hasil
kerja mereka. Gubuk balok kayu yang kokoh dan indah di atas dataran tinggi
pegunungan itu. Dihiasi taman bunga asri, dihiasi bunga warna – warni . Udara
dingin dan sejuk menyegarkan dedaunan hijau ditaman bunga hasil ketrampilan
tangan Nini Dewi Laras.
Kolodete merasa puas, karena mimpinya telah terwujud.
“ Terimakasih atas bantuan kalian gubuk ini terwujud
dan selesai dengan cepat.”, kata Kolodete kepada Nini Dewi Laras
dan Lirang sambil karing ( berjemur) di
atas batu di depan gubuk mereka suguhan pemandangan
yang sangat menawan.
“ Kalau boleh bertanya kau akan memberi nama tempat
ini apa? “,tanya Nini Dewi Laras.
“ Ya... akan kau beri nama apa?! “, sahut Lirang
ingin tahu.
“ Karena tempat pegunungan ini udaranya sejuk dingin.
Pemandangannya begitu indah dan mempesona yang pantas sebagai nirwana bersemayamnya
para dewa...”, Kolodete berhenti sesaat
menarik nafas.
“ dan karena kau Nini Dewi Laras...dirimu seorang
Dayang Ratu Laut Selatan maka tempat di
sekitar gubug ini aku beri nama Di-eng....! “, lanjut Kolodete.
“ Dieng ?! “, suara mereka serempak.
“ Ya! Tempat dataran tinggi pegunungan ini kuberi
nama DIENG ! “, suara lantang Kolodete menggema kemana – mana.
Sejak saat itu, Walik dan Karim sahabatnya sering
berkunjung ke dataran tinggi pegunungan Dieng. Sebaliknya Kolodete dan Nini
Dewi Laras sering juga turun gunung mengunjungi sahabat mereka.
Beberapa waktu kemudian karena mendapatkan restu dan
wahyu dari Ratu Laut Selatan; Kolodete menikahi Nini Dewi Laras. Ketika
upacara pernikahan berlangsung ia mengucapkan sumpah, “ Aku tidak
akan mandi dan tidak akan memotong rambutku sampai wilayah dataran tinggi
menjadi gemah ripah loh jinawi (
makmur dan sejahtera ) ...! “
Sejak menjadi istri Kolodete nama Nini Dewi Laras
berganti nama sebagai Ni Roro Ronce; nama yang sesuai dengan kepandaiannya
dalam merangkai bunga.
SELESAI
AL. SIHDI WIDYANANTO WIDODO
LOMBA MENULIS CERITA RAKYAT WONOSOBO
Dewan Pendidikan Kabupaten Wonosobo
Jl. Sukarno Hatta no. 2- 4 Wonosobo